Pendidikan memang pondasi untuk kemajuan bangsa. Ketika pondasi itu rapuh, hasilnya bukan semata angkatan kerja yang tidak bisa bersaing ataupun anak muda yang minim inovasi. Dampaknya juga ada pada masyarakat yang tidak dewasa
Sintesisnya bukan terlihat pada prestasi gemilang per orang, melainkan ketika generasi tumbuh menjadi masyarakat yang mampu mengatasi dinamika zaman dan segala tantangannya.
Masyarakat yang mengedepankan emosi ketimbang logika sehingga energi bangsa ini habis hanya untuk bertengkar sendiri.
Dalam perspektif itulah pantas dikatakan bahwa sistem pendidikan di negeri ini belum sepenuhnya menjadi fondasi yang kuat.
Sekalipun sistem pendidikan itu telah mempersembahkan prestasi dunia yang tidak sedikit, sesungguhnya ia belum kuat berurat akar pada nilai-nilai kebangsaan.
Sistem pendidikan belum mampu membuat masyarakat tetap bergandengan tangan meski dihasut berbagai isu.
Bukan saja di kalangan siswa pendidikan lanjut, murid sekolah dasar pun sudah terjangkiti kebencian pada perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Di tengah situasi yang kurang kondusif itulah, kehadiran Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter adalah sebuah kebutuhan.
Perpres yang diteken Presiden pada 6 September itu berperan jauh dari sekadar mengakhiri polemik jumlah hari sekolah dalam sepekan.
Perpres itu ibarat peta jalan untuk membenahi sistem pendidikan secara menyeluruh. Disebut peta jalan karena penguatan pendidikan karakter dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila, terutama nilai-nilai religius, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, cinta tanah air, cinta damai, peduli sosial, dan bertanggung jawab.
Formula yang ditawarkan untuk membangun karakter bangsa bukan jauh di awang-awang ataupun mengimpor nilai asing, melainkan kembali pada karakter luhur yang berakar pada Pancasila.
Ada lima nilai yang diusung, yaitu nasionalisme (kebangsaan), integritas, kemandirian, gotong royong, dan religius.
Karakter itu bukan hanya dibangun lewat proses belajar formal di dalam kelas, melainkan juga lewat kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler.
Dengan begitu peserta didik tidak hanya menjadi orang-orang berotak moncer, tapi juga berakhlakul karimah.
Itu berarti juga cinta tanah air, senantiasa mengedepankan tolong-menolong antarsesama, dan menghormati dalam bingkai kebinekaan.
Hal ini patut diapresiasi karena pembuatan perpres itu melibatkan semua unsur masyarakat.
Perpres dirumuskan berdasarkan masukan dari pimpinan ormas Islam, baik NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Al Washliyah, Persis, MUI, maupun ICMI.
Keberhasilan perpres hanya dapat terwujud jika seluruh pihak terkait, mulai menteri, gubernur, bupati, hingga wali kota, tertib menyiapkan anggaran untuk penguatan pendidikan karakter, baik di madrasah, sekolah, maupun di masyarakat.
Upaya penguatan pendidikan karakter tentu tak cukup hanya dengan menerbitkan peraturan yang hanya indah di atas kertas.
Jauh lebih penting lagi ialah keteladanan para pemimpin formal dan informal, termasuk para tenaga pengajar hingga orangtua siswa.
Pendidikan karakter sangat membutuhkan keteladanan nyata.
Siswa pasti bingung tatkala di sekolah diajarkan jujur, tapi di ruang publik berseliweran contoh eksekutif, legislatif dan yudikatif maling uang rakyat.
Jangan biarkan siswa menemukan keteladanan seperti mencari jarum di tumpukan jerami.