TIDAK bisa dimungkiri lagi, Indonesia merupakan negara paling rawan terhadap bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, gempa, tanah longsor, dan gunung berapi.
Indonesia rawan bencana. Negeri ini berdiri di atas pertemuan lempeng-lempeng tektonis. Itu membuatnya berada di atas jalur gempa, patahan-patahan yang menyebabkan gempa, juga ancaman sekitar 140 gunung berapi aktif.
Iklim kita yang tropis juga menyebabkan tanah tidak stabil. Itulah penyebab tanah bergerak. Iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi memudahkan terjadinya pelapukan. Bencana alam seperti longsor, misalnya, disebabkan curah hujan di sini cukup tinggi.
Namun, nyatanya realitas itu tidak membuat kita sigap untuk melakukan pembenahan mitigasi, tidak sekadar rehabilitasi dan rekonstruksi. Buktinya, tiap kali bencana datang, jumlah korban selalu masif. Tiap kali bencana mendera, tiap itu pula duka dalam selalu menyelimuti negeri ini.
Bencana alam memang sulit untuk dicegah. Akan tetapi, itu bukan berarti kita hanya berpasrah diri. Bencana mestinya diantisipasi.
Infrastruktur didesain sesuai dengan kondisi alam. Bangunan rumah, juga bangunan besar seperti gedung, belum banyak disesuaikan dengan kondisi alam. Padahal, dalam satu dekade terakhir, bangsa ini telah berulang kali berduka. Jutaan korban direnggut akibat minimnya upaya mitigasi bencana.
Tata ruang juga tampaknya belum dikelola berdasarkan prinsip ramah bencana. Padahal, undang-undang yang mengatur soal itu juga telah terbit pada 2007. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pun telah mengeluarkan peta rawan gempa pada 2010.
Namun, kita saksikan rumah-rumah warga dibiarkan dibangun tinggi-tinggi, bahkan dekat dengan pinggir laut, tempat paling berisiko terhadap gelombang bencana.
Jepang telah membuktikannya, dengan mitigasi bencana yang maksimal sehingga jumlah korban pun bisa diminimalkan.
Gempa bumi di Kumamoto, Jepang, wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi, pada tahun ini yang sebesar 7,3 SR hanya menelan 41 korban jiwa. Jika dibandingkan dengan bencana serupa di Indonesia, gempa 7,6 SR di Sumatra Barat menyebabkan lebih dari 1.100 jiwa meninggal.
Bangsa ini mesti belajar dari seluruh rangkaian bencana yang telah melanda. Perlu ada langkah tegas untuk menumbuhkan kesadaran tentang mitigasi bencana.