DUNIA pendidikan sejatinya ialah tempat untuk belajar dan menyemai kejujuran, wahana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, serta membentuk karakter manusia mulia, berbudi, dan berintegritas.
Dunia akademi semestinya terlindung sekaligus memberikan perlindungan dari bahaya laten ketidakjujuran, kebohongan, dan segala tipu muslihat. Karena itu, amatlah memalukan ketika ada bagian dari dunia pendidikan itu yang malah tanpa sungkan memproduksi ketidakjujuran dan kebohongan.
Sungguh tak bisa diterima akal sehat bila lingkungan akademik tega menyampingkan integritas, bahkan meminggirkan martabat, demi keuntungan pribadi. Ironisnya, tontonan di dunia pendidikan tinggi di Republik ini beberapa waktu terakhir justru menunjukkan bahwa kita tengah dihinggapi persoalan memalukan itu.
Raibnya kejujuran dan lunturnya integritas akademik masih menjadi persoalan terpelik di lingkungan pendidikan kita. Tembok kejujuran akademik yang telah dibangun dan dijaga dengan susah payah kini dalam ancaman kerobohan.
Belum lama negeri ini dihebohkan terkuaknya praktik plagiarisme tesis program doktoral di lingkungan universitas negeri di Jakarta, yang bahkan dipromotori rektornya sendiri. Skandal ini saja sudah sangat bikin malu dan mencoreng muka perguruan tinggi yang mestinya menjadi tempat terhormat menciptakan anak bangsa cerdas dan berkarakter.
Skandal berikutnya muncul dari pengakuan mengejutkan Dwi Hartanto, seorang mahasiswa asal Indonesia yang beberapa waktu lalu mengaku sebagai ilmuwan di bidang aerospace engineering dan menjadi assistant professor di TU Delft Belanda.
Setelah puja-puja yang ia terima, terkuaklah kebohongan besar di baliknya. Dwi ternyata hanya mahasiswa doktoral biasa di TU Delft, tanpa semua klaim prestasi yang pernah ia pamerkan sebelumnya.
Amat disayangkan di usia yang masih muda ia telah menyingkirkan jauh-jauh kejujuran yang mestinya ia pegang kukuh. Kalau ia betul seorang ilmuwan seperti klaimnya selama ini, Dwi pasti paham bahwa kebohongan ialah barang haram. Postulat di kalangan akademisi jelas-jelas mengatakan ilmuwan boleh salah, tapi tak boleh berbohong.
Mungkin masih banyak contoh lain dari kebobrokan serupa. Kebobrokan yang disebabkan memudarnya kejujuran karena kalangan akademisi sibuk berselingkuh dengan kepentingan-kepentingan pribadi atau motif-motif lainnya seperti politik atau ekonomi.
Kita tentu masih ingat bagaimana produk ilmu pengetahuan seperti survei, riset, atau quick count bisa diselewengkan dengan semena-mena untuk kepentingan politik pada Pemilu 2014 lalu. Inilah yang namanya prostitusi intelektual.
Publik juga kerap menyaksikan orang dengan mudahnya memanipulasi intelektualitasnya untuk mengejar posisi dan jabatan tertentu di pemerintahan. Bahkan tak sedikit pula korupsi yang terjadi di lingkungan sekolah dan kampus.
Kita mesti ingatkan betapa masyarakat punya mekanisme sendiri untuk menghukum mereka yang tidak jujur di dunia akademik. Siapa pun yang ketahuan berbuat curang pasti habis karier intelektual atau akademisnya.
Cita-cita mencapai dunia akademik dan intelektual yang memiliki kualitas dunia hanya akan menjadi mimpi jika bangsa ini masih saja disibukkan dengan tindak-tanduk akademisi dan intelektual yang masih jauh dari berintegritas. Karena itu, sungguh, menjadi tugas berat bagi semua pihak untuk mengembalikan nilai-nilai kejujuran ke dunia akademik dan intelektual di Tanah Air.
https://mediaindonesia.com/editorials