Arief Budiman adalah nama besar dalam dunia sastra Indonesia. Bukan novelis, penyair, atau dramawan, dia adalah esais.
Sebagai esais, dia berbeda dengan kritikus. Seorang kritikus adalah seorang pengamat. Adapun esais adalah seorang penggagas, pemikir. Produk kritikus adalah karya pengamatan. Produk esais adalah karya pemikiran. Ukuran kritikus adalah ketajamannya. Ukuran esais adalah kecemerlangannya.
Contoh kritikus, dalam sastra Indonesia, adalah HB Jassin, yang banyak melahirkan karya pengamatan tentang fenomena sastra Indonesia. Contoh esais adalah fokus catatan ini, Arief Budiman, yang pernah melahirkan beberapa gagasan cemerlang tentang seni dan kesusasteraan Indonesia.
Tentu saja ada orang yang mampu hebat di keduanya, baik sebagai kritikus maupun sebagai esais. Saya melihat contoh kritikus-esais paling top di kesusasteraan Indonesia adalah Ignas Kleden. Karya-karya kritiknya sangat tajam. Esai-esainya kokoh.
Andai tak ada Arief Budiman, fenomena esai di Indonesia yang sudah berkembang sejak zaman penjajahan oleh para tokoh pergerakan nasional, mungkin berkembang tanpa pemikiran tentang esai itu sendiri.
Pada 1990-an memang dapat kita temui sebuah tulisan yang memberikan pemeriksaan lebih jauh tentang bagaimana esai ditulis berjudul “Antara Objektivitas dan Subjektivitas” dari Ignas Kleden dan pada 2000-an dapat kita temui tulisan tentang esai dari Agus R Sarjono.
Tetapi dalam pemahaman saya, tulisan Arief Budimanlah yang mengawali pemikiran bagaimana esai ditulis, yaitu dalam esainya di tahun 1970-an, yang ringan dan menarik, yang berjudul ” Esai tentang Esai”. Esai adalah tulisan tentang sesuatu sejauh yang menjadi perhatian penulisnya. Ya, sejauh yang menjadi perhatian penulisnya, katanya dalam esai itu.
Tetapi, yang tampaknya ringan ini bisa sangat serius dan mendalam, karena dalam pemeriksaan Kleden, Clifford Geertz terhadap karya besarnya yang sangat tebal dan monumental tentang santri, priyayi dan abangan di Pare Kediri dalam The Religion in Java, yang menjadi kitab suci antropologi dunia, dia menyebutnya sebagai esai saja. Ignas sendiri akhirnya memang banyak menulis pemikiran yang serius dan mendalam dengan menyebutnya sebagai esai saja.
Tetapi apakah sebenarnya, dalam seni dan sastra, pemikiran Arief Budiman sebagai esais?
Di antara esai-esainya, saya suka dua gagasannya tentang penilaian seni seperti dalam Metode Ganzeit dalam Kritik Seni dan tentang gagasannya Sastra Kontekstual.
Esai tentang penilaian seni tersebut adalah gagasan yang melawan kecenderungan umum dalam kritik seni yang saat itu umumnya melakukan penilaian dengan pendekatan analitik dan berusaha menarik kesimpulannya atas dasar hasil analisis objektif atas karya.
Dalam pandangan Arief Budiman, orang tidak pernah melakukan penilaian seni atas dasar cara yang seperti itu. Orang melakukan penilaian seni selalu dengan menangkap kesan utuhnya dulu, kesan gestalnya. Gagasan ini tampaknya diturunkan dari pendekatan fenomenologi dalam penilaian seni yang tetap diikuti analisis, tetapi analisis itu sebagai upaya pembuktian kesan gestal yang telah lebih dulu ditangkap.
Tentang sastra kontekstual, ada banyak esai yang ditulis Arif Budiman. Esai-esai itu banyak mewarnai buku kumpulan karangan dari berbagai penulis yang disunting Ariel Heryanto yang berjudul Perdebatan Sastra Kontekstual.
“Sastra yang Ditulis untuk Orang yang Ada dalam Sejarah”, “Sastra Kiri yang Kere”, “Sastra yang Berpublik” dan “Sastra Kontekstual” sendiri, adalah esai-esai mengenai gagasan utamanya tentang sastra kontekstual, yaitu bahwa suatu karya sastra ditulis dengan membayangkan masyarakat pembacanya dan yang tidak mengasingkan diri terhadap persoalan masyarakatnya.
Gagasan ini tampaknya sedang melawan kecenderungan sastra saat itu yang lebih mengejar pencarian estetik. Rasanya menarik untuk ditelaah apakah gagasan sastra kontekstual ini hadir untuk berada dalam barisan Seni untuk Masyarakat, yang dalam polemik kebudayaan di era Pujangga Baru pada 1930-an berhadapan dengan gagasan Seni untuk Seni.
Begitulah Arief Budiman yang selalu saya ikuti dari esai-esainya yang konkret, gamblang, dan tertata dalam bahasa sendiri yang sangat terhayati. Saya tidak tahu bagaimana Arief Budiman yang sarjana psikologi UI bisa begitu hebat dalam pemikiran sastra seperti itu. Yang saya tahu, skripsi sarjana psikologinya membicarakan puisi-puisi Chairil Anwar yang kemudian terbit sebagai buku yang menarik, Chairil Anwar : Sebuah Pertemuan, sebuah skripsi yang mendialektikakan sastra, psikologi dan filsafat fenomenologi.
Kehidupan manusia bukanlah sesuatu yang berjalan dengan tenang dan damai, lancar dan licin. Sebaliknya, kehidupan manusia penuh dengan bahaya, sejak masa bayi sampai menjadi dewasa dan tua.
(Arief Budiman, Indonesia Raja, 23 April 1969)
Setelah meraih doktor dari Harvard, Arief Budiman tampaknya berpindah total menjadi sosiolog. Ia tak lagi menulis tentang sastra. Ia pernah menulis di Tempo tentang Arswendo saat jadi perkara hukum. Tulisan ini betul-betul esai dalam konsep esai yang saya pahami. Lalu tulisan wawancaranya yang bagus dengan Gutter Grass yang dijadikan contoh model penyajian wawancara dalam buku Menulis Populer Ismail Marahimin. Juga pengantar untuk terbitan biografi almarhum Soe Hok Gie, adiknya, dalam Catatan Harian Seorang Demonstran, yang sangat cocok dibaca mahasiswa baru.
Saya pernah membaca tulisannya tentang peranan ilmuwan sosial dalam pembangunan di Kompas yang melawan gagasan pembangunan Orde Baru yang mengagungkan teknologi yang lugas dan jelas. Juga, pernah saya baca tulisannya tentang kepemimpinan mahasiswa dalam buku tentang cendekiawan yang disunting Dick Hartoko, sebuah artikel untuk pertemuan di sebuah negara di Amerika Latin. Terakhir, saya membaca tulisannya untuk kepergian almarhum YB Mangunwihaya berjudul “Sosialismenya Romo Mangun” yang tetap menampilkan gaya tulisannya yang jelas, tertata, dan mudah dipahami.
Arief Budiman, yang dipuji Rendra dengan nama Soe Hok Djien sebagai orang yang sangat tangkas berpikir, kita tahu adalah orang punya nama besar dalam sejarah gerakan kemahasiswaan, dalam kepakaran ilmu sosial dan pemikiran kebudayaan. Sebagai tukang ngajar bahasa di sekolah, yang sering menggunakan karangan-karangannya sebagai contoh, saya berkesan bahwa dia adalah esais ternama dalam sejarah keesaian kita.
Kemarin Kamis 23 April 2020 beliau meninggal dalam usia 79 tahun di Rumah Sakit Ken Saras, Semarang. Saya jadi teringat kalimatnya dalam soal menulis dalam sebuah wawancara yang mencerminkan sikapnya yang pasti sebelum melangkah. “Saya tak pernah menghapus kata yang pernah saya tulis,” katanya.
FB: Sudibyo Glendoh
Arief Budiman Esais Seni dan Kesusasteraan Indonesia